Puisi dan Belati

Jumat, 17 Desember 2010

Engkau semi di dalam hatiku
Engkau gugur terbingkis sembilu
Bidadariku
Laksmi bersayap pelita
Seluruh alap tak terkata
Laik padma di atas telaga
Laik bianglala di langit ganih
Sesaat sejukkan jiwa ringkih
Sesaat merakit luka perih
Bidadariku
Sayapmu menghempasku
Terbang asmaraku kau lalu


Puluhan tepuk tangan menyambut saat Andi usai mempersembahkan puisinya. Bak musik seirama dan teratur yang meloncat-loncat di udara. Terbuatlah suasana kelas X-9 menjadi ramai meriah, meninju derit kipas angin tua yang tergantung di atap serta menendang rasa kantuk yang ditenteng semilir angin dari sela-sela nako. Raut bocah itu langsung berubah riang dan tersenyum malu sekaligus bangga. Dengan pelan jari-jarinya menutup buku dan lekas ia kembali ke tempat duduk. Puluhan pasang mata memandangnya ketika ia berjalan dari depan kelas, melewati deretan meja dan kursi, hingga kembali duduk di sampingku. Matanya mengerling sejenak.

“Apa?” tanyaku merasa tidak nyaman, sementara di depan Pak Bambang sedang memanggil siswa selanjutnya.

Andi melemparkan buku tulisnya ke meja menindih buku penunjang pelajaran bahasa Indonesia sebelum ia membetulkan duduk sambil bertanya, “Bagaimana menurutmu?”

“Bagus.” jawabku ketus. Kualihkan pandanganku dari bocah gendut berkacamata itu. Di telingaku, kata-katanya terkesan sombong dan menyinggung.

“Puisi itu untukmu.”

Dahiku berkenyit, “Maksudmu?”

Andi sudah membuka mulut dan hampir akan menjawab pertanyaanku, tetapi kata-kataku kembali menyambar bahkan sebelum sepotong katapun meluncur dari bibir bocah itu. “Tidak! Aku tetap tidak percaya!” Nyaris berteriak dan dapat menarik banyak perhatian jika saja tidak ditabiri deru tepuk tangan. Kutatap tajam bocah itu.

“Kau masih tidak percaya? Aku beritahu, seperti yang ada di dalam puisi itulah yang akan terjadi padamu,” Andi melorot di kursi kayunya hingga kepalanya bisa mengalai di punggung kursi. Ia berkata begitu tenangnya, seolah tak sadar bahwa sebagian perkataannya dapat masuk ke hati dan menikam jantungku.

“Aku yakin berita itu bohong!” gertakku.

“Jangan terlalu yakin,” rentetan tepuk tangan mengalun lesu, satu lagi puisi telah usai dibacakan di depan kelas. Andi melanjut, “kalaupun benar Nia belum mempunyai pacar, apa kau benar-benar berani untuk mengungkapkan perasaanmu di depannya?”

Bocah itu sungguh menikamku.

Aku bimbang, “Akan kucoba, aku pasti bisa.”

Ada jeda sejenak di antara kami berdua, yang diisi suara sayup-sayup seorang siswa membaca puisi di depan kelas.

“Ya sudahlah. Bagaimana puisimu?” Andi memutar arah pembicaraan.

Detak jantungku berhenti. Udara membeku.

Dengan lemas campur bingung aku masih sempat menjawab, “Belum jadi. . .”

Bibir Andi hendak bergerak. Entah ingin memberi solusi atau peringatan, aku tak pernah tahu. Karena waktu tiba-tiba saja berhenti, tak ada pergerakan atau suara. Matahari bungkam dan muram ; kelabu. Di ruang kelas ini, di antara tiga puluh enam murid, di jam-jam terakhir, aku seolah terpojok seorang diri. Hanya terdengar satu suara yang begitu jelas dan mendengung dalam di telingaku, menunggang angin dingin nan senyap ; Pak Bambang memanggilku.

“Rio Saka Pambudi.”

Bulu kudukku tegak berdiri. Aku merasa seolah lambungku tertarik ke bawah, menuju kakiku yang gemetar saat berdiri kini. Rasanya begitu cepat sampai tiba giliran aku dipanggil. Dan rasanya begitu menyesal telah melupa tugas ini. Dengan kalut aku berjalan ke depan kelas, membawa buku tulis yang hanya berisi coretan-coretan gagal larik puisi. Tak dapat kubalas tatapan heran Pak Bambang di kursinya, ataupun tatapan penasaran dan lucu dari teman sekelas. Kebingungan mencapai puncaknya ketika aku sudah berdiri membelakangi papan tulis, dengan buku di depan dada membuka halaman kosong. Ludah kutelan.

Kulihat, beberapa teman sudah ada yang tertawa, mungkin karena melihat ekspresiku. Kucoba setegar mungkin, akan tetapi roman muka mereka sendiri justru membuatku tersipu. Namun di antara semuanya, sekilas aku merasa ada sepasang mata yang sedang memandangku ; dalam dan menyimpan. Kucari di antara tatapan lucu kawanku, tak ada. Siapa gerangan yang tadi melemparkan sekilau sarat makna padaku? Firasatku menjawab itu hanya firasat.

Waktu merangkak di antara tengkukku. Mungkin baru tiga detik aku berdiri di sini, tapi serasa sudah tiga jam. Udara pun memanas, seperti sedang telanjang di bawah sengangar matahari. Kualihkan pandangan ke sembarang tempat, berharap ada sesuatu yang dapat memberiku ide untuk menambahkan. Nihil. Di tengah keputusasaan yang hampir menjamah, terpikir untuk membaca coretan puisi asal-asalan di buku. Biarkan saja jika harus ditertawakan atau mendapat nilai buruk.

Kuangkat buku mendekati jarak baca, kubalik ke halaman terakhir. Sekali lagi, kutelan ludah. Kedua bibirku merekah, hendak melontarkan kalimat pertama. Tapi kalimat itu tertahan di tenggorokan. Mendadak ada suatu bayangan di hatiku, bergerak merambat menyelubungi pikiran dan mataku. Ketika kusadari aku telah mencoret sepotong nama di pojok kanan bawah kertas bukuku. Pikiranku pun hilang, dalam dan melayang. Terlintas di imajiku rambut hitamnya yang berderai panjang melewati pundak. Terbayang aku kepada mukanya yang bulat telur seputih pualam. Pada mata beningnya, pada bibir merah jambunya, teringat aku pada gadis itu, Nia. . . .

***

Puluhan atau ratusan siswa tumpah ruah seperti landa air bah. Mengalir dari berbagai pintu, gelombang demi gelombang. Menenteng tas, dan ada juga yang mengenakan jaket, menuju ke parkiran sepeda motor atau ke gerbang. Ramai-ramai menyambut bel terakhir yang berteriak di sekolah ini. Derap sepatu membentuk alunan musik sumbang dicampur riuh gumaman. Mulai dari kelas X sampai kelas XII, berkelompok atau sendiri-sendiri, semuanya saling membentuk pagar putih abu-abu di depanku.

Aku hanya diam bersandar di ambang pintu kelas. Sama sekali tak ada yang membuatku tertarik untuk bergegas pulang. Di belakangku, kelas nyaris kosong. Hanya beberapa siswi yang masih bercengkrama di sana, entah memperdebatkan sesuatu atau sekedar mengatur jadwal ketemu nanti ; aku tak tertarik memperhatikannya. Sedangkan Andi sudah sedari tadi menyelam bersama kerumunan. Aku masih diam. Memandang lapangan voli hingga pagar belakang sekolah, di depanku di balik pagar manusia.

Lambat laun pun ‘air bah’ menyusut. Tersisa deru sepeda motor dan riak tawa di kejauhan. Kubenarkan gantungan tas ranselku, pun beranjak, menapaki lantai keramik berdebu. Aku bosan, rutinitas seperti ini selalu terulang kerap kali. Mungkin sekarang aku pulang sekolah, tapi besok aku akan kembali lagi, kemudian pulang kembali dengan kebiasaan yang sama. Aku ingin ada perubahan dalam hidupku. Aku ingin ada sesuatu yang istimewa. Dan saat aku memikirkannya, sesuatu istimewa itu telah muncul di kenyataanku.

Langkah kaki lesuku terhenti di percabangan lorong yang menjadi empat arah, di mana di salah satu tepinya terbangun tangga ke lantai dua -- selain kelas X-9, seluruh kelas X lainnya berada di lantai atas ; benar-benar suatu penataan yang buruk bagi kami sekelas dan sering kami keluhkan karena rasa terpencil. Namun bukan hal tersebut yang kini menggelayuti pikiranku, dan bukan tangga ‘pemisah’ itu yang menarik perhatianku. Melainkan pada seseorang yang menuruninya. Ganal bidadari.

Dengan langkah pelan dan ringan Nia berjalan menurui tangga. Matanya berkilat riang. Seperti biasa bando merah muda melekat di rambutnya, serasi dengan warna tasnya.

Debar jantungku kehilangan irama sesaat kebekuan merayapi setiap inci dari sarafku. Nia hanya sendiri, namun bagaimanapun juga aku tetaplah seorang anak lelaki yang tidak berani dekat dengan perempuan. Lebih tepatnya : gugup. Tubuhku merapat lemas ke dinding, sambil terus memandang gadis itu dari balik tiang penyangga di tengah-tengah. Aku merasa seolah sudah tidak punya kaki, jari-jariku pun mati rasa. Jika Nia melihat ke arah sini, aku pasti mati terkulai. Untung dia tidak melihatku!

Kendatipun gugup, sebesar apapun rasa maluku untuk mendekatinya, dari lubuk hati yang terdalam aku sangat ingin menghampirinya dan berucap : “Aku mencintaimu, maukah kau jadi kekasihku?” Namun angan tetaplah angan. Pada kenyataannya, aku sungguh menyedihkan. Seandainya saja Nia yang menghampiriku dan bilang kalau dia menyukaiku. . . Sayang, dia tidak melihatku!

Samar-samar, lamunanku dipecahkan. Kudengar dari balik tepi dinding Nia sedang berbicara. Bukan, bukan denganku. Terlalu tinggi jika aku berharap seperti itu, lagipula suaranya masih cukup jauh, kuduga ia belum sampai menginjakkan kaki di lantai datar. Ada langkah lain menuruni tangga ; lebih berat dan tergesa.

“Darimana saja kau?” seru Nia.

“Mencarimu tentu saja.”

Tenggorokanku tercekat ketika mendengar suara kedua ; suara lelaki.

“Kau terlewat. Aku sudah berada di tepi tangga sejak tadi.”

“Begitukah? Maafkan aku kalau begitu, kekasihku.”

Aku merasa seperti ada sesuatu dariku yang jatuh meluncur menuju pusat bumi. Jantungku telah diremas oleh tangan-tangan api, sedang hatiku disayat belati-belati keji ; memerihkan sekali. Aku merasa diinjak-injak rendah. Begitu rendah hingga tak lebih baik dari debu. Dan mungkin aku hanya debu, dikibaskan dari berbagai keindahan yang hilang pintang.

“Ayo pulang!”

Di seberangku, hanya terpaut jarak tujuh meter, di tepi tangga kulihat Nia bergandengan tangan dengan seorang remaja lelaki. Dia jauh lebih tampan, rapi dan elegan penampilan menunjukkan bahwa berasal ia dari keluarga berada. Tampak jelas perbedaannya dengan diriku yang menyedihkan. Setitik debu memang tak pantas mengharapkan seelok bidadari. Dari seberang masa, kuratapi pasangan itu berjalan sebati meninggalkan lingkungan sekolah.

Andi benar. Kabar itu benar. Nia memang sudah memiliki seorang kekasih. Betapa bodohnya aku. Aku baru sadar bahwa selama ini memang tak ada pertanda bahwa Nia menyukaiku. Bahkan mungkin dia tak pernah mengenalku, atau memperhatikanku. Hanya rasa sombong dan kepercayaan diri yang terlalu kuat. Aku bodoh.

Walaupun lemah aku berusaha menegakkan kaki. Mata sayu menatap pasangan yang pergi berlalu. Mereka sudah melewati gerbang depan, sedang di lingkungan SMA yang hampir sepi ini, mulutku berujar, tanpa sadar. . . .

Bidadariku
Sayapmu menghempasku
Terbang asmaraku kau lalu . . .


Lamat-lamat telingaku menangkap suara gerak tubuh mendekat dari belakang. Tapi aku tak peduli. Siapapun yang akan lewat dan melihatku dalam keadaan sendu seperti ini, aku tak peduli. Aku sangat tidak peduli. Biarkan semua orang tahu kalau hatiku tersakiti. Aku tak peduli. Aku meronta dalam hati, dan, saat ini, mataku mulai berkaca. Aku tetap tak peduli!

Di pekatku yang membeku
Relung mengembara mencari
Sedikit sinar namun semu
Sedikit ada namun sunyi

Aku jatuh dalam lintasan
Kususuri sejauh jalan
Barangkali di ujung ada harapan

Ternyata engkau yang kusua

Asmara menghilangkanku
Melamur arah penjuru
Yang terbesit hanya dirimu

Kendati sayup dan sayu
Di layang mimpi jemari terpaku
Aku ingin menyentuhmu
Ijinkan aku merindumu


Bait puisi itu terluncur dari suara kecil yang dalam, dari belakangku, ketika derap langkah pelan yang telah terhenti. Sangat puisi itu kukenal dan kuhafal. Karena puisi itulah yang tadi kubacakan di depan kelas saat tugas pelajaran bahasa Indonesia. Dan suara itu, jarang kudengar tapi juga kukenal. Suara seorang gadis.

“Jangan bersedih, meskipun orang yang kau cintai tidak mencintaimu, tapi masih ada orang yang mencintaimu, meskipun mungkin dia tidak kau cintai.”

Aku berbalik. Riska, teman sekelasku, berdiri tepat di belakangku. Ia diam memandangku. Matanya begitu dalam dan menyimpan suatu hasrat. Aku segera tahu bahwa gadis mungil inilah yang tadi memperhatikanku.

“Aku tahu kau menyukai Nia,” ujar Riska dengan wajah penuh harap yang sendu,”tapi kau harus tahu, bahwa aku mencintaimu, Rio.”

Dan aku tak pernah tahu, karena kau terlampau pendiam. Setidaknya sampai detik ini. Namun cinta di hatiku bukanlah sesuatu yang dapat tumbuh dengan lekasnya. Sebagian hatiku masih terbawa oleh sayap-sayap Nia. Di sisi lain, aku tak tega menyakiti Riska setelah aku tahu bagaimana rasanya tersakiti. Tapi jika aku menerima cintanya, aku hanya akan membohongi ketulusannya, dan dia akan lebih tersakiti.

Aku berbalik. Sedikit mendongakkan kepala dan menahan agar tidak ada setetes pun air yang mengalir dari pelupuk mataku yang berkaca sejak tadi.

“Untuk sementara ini. . .maaf. . .” ucapku.

0 komentar:

Posting Komentar