Ingin Jadi Pengarang, Mulailah Sekarang!

Jumat, 17 Desember 2010

sumber : FLP USA-CANADA



Bila kita membaca karangan seseorang, terkadang timbul pertanyaan. Bagaimana orang itu bisa mengarang? Dari mana idenya? Perlukah diadakan riset, atau memang semata-mata khayalan belaka? Mengapa karangannya enak dibaca? Apakah dia terus mengerjakannya, atau ada masa-masa buntu? Bagaimana menyiasatinya?

Pertanyaan-pertanyaan itu sebenarnya sangat mendasar, pun selalu ada bila kita hendak mulai mengarang. Satu yang tak bisa dilupakan, mengarang adalah ibadah (i.e tergantung jenis tulisannya), lantas, bagaimana cara mengarang yang meninggalkan setitik kesan bagi pembacanya?

Mari kita mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.



Seseorang bisa mengarang, karena dia telah memulainya. Ia telah bertekad untuk mengarang, hingga boleh dikatakan TEKAD ini adalah modal dasar yang pertama.

PUNYA KEMAUAN

Ada yang mengatakan, mengarang hanya memerlukan bakat sebanyak 5 %, selebihnya adalah kerja keras. Tapi bagi saya, tanpa kemauan, kerja keras pun tak ada gunanya.

MENDAPATKAN IDE

Ide itu bisa muncul dari mana saja. Ia bisa didapatkan melalui bacaan, pendengaran, perasaan, dan penglihatan atau pengamatan. Ide akan selalu siap Anda tangkap ketika membaca koran, buku, atau majalah, memandangi taman bunga, melihat kerumunan orang di pasar, dan lain-lain.

Ide juga bisa lahir dari perasaan - sedih, gembira, gundah, gelisah, marah - dan ketika Anda mendengarkan radio atau obrolan teman Anda. Ide juga bisa
didapatkan ketika Anda membaca cerpen orang lain, apalagi penulis cerpen kenamaan yang karyanya sering muncul di media massa. Just try!

Ada pengarang yang sebenarnya tak punya ide apa-apa, tapi begitu menghadapi mesin tik atau komputer, ide itu terus runtun dan mengalir. Mengapa? Rahasianya mudah saja, karena dia telah menguasai bagian-bagian
teknik mengarang--terlebih lagi tanda-tanda baca yang tak boleh dilupakan--dan telah mampu menyikapi jalan pikirannya dengan baik untuk menciptakan,
mempermainkan, atau memanipulasi tokoh-tokoh ciptaannya.

Saya seringkali membiarkan tokoh-tokoh saya bergerak sendiri, saya seperti membiarkan saja apa yang mereka mau pikirkan, lakukan atau pun mungkin bikin gebrakan yang mengejutkan. Saya biarkan tokoh-tokoh itu mengalir begitu saja dan saya jadikan mereka sebagai 'para punakawan' sementara saya 'dalang'nya yang menguasai mereka tapi tidak mengatur mereka.

RISET?

Boleh, bila memang yang hendak kita karang itu sesuatu yang memang memerlukan riset. Misalnya kita hendak mengarang tentang seorang yang pekerjaannya mencari mutiara. Kita harus tahu berapa lama seseorang bisa menahan napas di dalam air. Mutiara yang ditemukannya, apakah sudah dalam bentuk jadi, atau masih perlu diolah. Bila kita tidak mengetahui hal itu, kita perlu membaca buku (dalam arti riset kecil). Atau bila ingin lebih detil sesuai dengan kebutuhan yang hendak kita tulis, tak ada salahnya kita mengamati langsung bagaimana para penyelam mengambil mutiara.

Tapi banyak pula pengarang, termasuk saya, yang seringkali mengadaptasi apa yang telah saya alami, meskipun itu semua dimanipulasi dengan kebisaan kita
sendiri.

GIMANA KALAU BUNTU?

Endapkan saja, kaji lagi, baca lagi, tulis lagi. Bila masih buntu? Lakukan hal yang sama, dan gunakan waktu yang luang untuk membuat cerita yang lain. Dengan cara seperti itu, kita mulai bisa mengolah setiap ide yang datang.

MOOD BERPERAN?

Abaikan soal itu. Karena, mood (dalam hal mengarang) adalah kata yang tak boleh dipercaya, selain kata sulit. Bila kita harus menunggu mood datang, kapan kita akan memulai. Bila kita mengatakan sulit, kapan kita akan mempermudahnya?

Satu hal kebiasaan saya yang perlu saya ceritakan di sini, saya tidak pernah memulai sebuah karangan baru bila karangan yang sebelumnya belum jadi. Meskipun dalam keadaan buntu, saya tetap tidak akan memulai karangan yang baru. Saya biarkan saja dan saya tetap tidak memulai karangan yang baru meskipun itu memakan waktu berhari-hari. Mengapa? Mungkin jawabannya, saya tidak mampu menguasai tokoh-tokoh saya yang saya beri kebebasan untuk bergerak sendiri.

*****

CARA MEMULAI TULISAN

Untuk tahap awal, sebagai pemula, jangan berpikir atau berkeinginan tulisan Anda langsung bagus. Tulis saja langsung apa yang ingin Anda kemukakan(komunikasikan kepada pembaca). Tuliskan apa yang ada di pikiran dengan gaya bebas. Biarkan mengalir.

Untuk cerita anak-anak :

   1. Berpikirlah seperti anak-anak, ringan, ceria dan selalu ingin tahu
   2. Jangan membuat cerita yang simsalabim, begitu gampang menyelesaikan masalah
   3. Beri akhir cerita yang menyenangkan, meskipun sad ending tapi tetap dibuat bahagia

Untuk cerita remaja :

   1. Gunakan bahasa remaja, boleh bahasa gaul atau bahasa sehari-hari
   2. Kalau mungkin ciptakan bahasa sendiri
   3. Jangan mempergunakan bahasa yang mendayu-dayu, karena setiap membaca cerita, biasanya remaja bukan mementingkan bahasa, tapi lebih banyak apa sih yang ingin disampaikan dalam isi cerita, juga, bagaimana sih akhir dari cerita.

Untuk cerita sastra :

   1. Jangan berpatokan pada seorang sastrawan
   2. Gunakan bahasa yang lebih mengutamakan isi ketimbang kata-kata
   3. Jalan cerita boleh diputarbalikkan secara bebas
   4. Beri kebebasan berpikir pada tokoh dan diri kita sendiri.
   5. Biasakan melatih diri mempergunakan kalimat puitis (jangan terjebak menjadi prosa liris, karena sastra juga tidak terletak pada kalimat-kalimat puitis)
   6. Usahakan, agar ending cerita dikembalikan ke pembaca (tergantung pada kemauan si pengarang)

Tentang tokoh dalam kategori semua cerita itu : BEBAS, SEBEBAS-BEBASNYA SEPERTI BURUNG TERBANG DI LANGIT

Jadi, mulailah.

   1. Tentukan tema atau gagasan cerita (meski biasanya tema atau gagasan itu tak pernah saya pikirkan sebelumnya)
   2.
      Mulailah menulis ---> bisa dimulai dengan:
      a. suspense (kejutan)
      b. konflik
      c. awal cerita (linier)
      d. deskripsi latar
      e. deskripsi tokoh
      f. dialog
   3. g. dan akhir cerita Merangkaikan Peristiwa.
   4. Membangun konflik dan mengakhiri cerita. Teknik ini pun menurut saya, sama, baik itu menulis cerita pendek atau novel. Hanya yang membedakan, cerita pendek biasanya hanya sekali baca dan tidak banyak konflik. Untuk novel, penggarapannya lebih detil dengan konflik ganda dan biasanya tidak habis sekali baca.
   5. Menulis
   6. Menulis
   7. Menulis dan biarkan mereka mengalir, mengalir dan mengalir
   8. Jangan khawatir kalau tulisan kita jadi banyak banget yang beredar. Jangan takut menjadi bajaj yang selalu seliweran di jalan. Karena mungkin, Allah memberikan kita kemampuan seperti itu, yang tentu saja kita harus melihat celah apa yang belum tergarap banyak dan bagaimana cara kita menggarapnya.

      *****

CATATAN DARI SEORANG FAHRI

Para Peserta yang budiman,

Kita mungkin bisa menjadi seorang JK Rowling, atau seorang Sidney Sheldon atau seorang Fira Basuki dan Djenar Mahesa Ayu yang karya-karyanya meledak hebat di pasaran. Tapi, kita juga harus berpikir dua kali untuk menulis cerita bertemakan seperti yang mereka tulis. Liberalisme memang mengajarkan seperti itu. Mungkin pula kita berpikir liberal, tapi kita juga punya batasan-batasan yang utuh.

Yah, itu semua kembali ke pandangan pribadi masing-masing dan tentunya kita berusaha untuk menuju ke sana dengan tidak menuliskan tema-tema seperti yang mereka tulis.

Dan bukan berarti apa yang selama ini kita ayomi menjadi sebuah kekhawatiran. Tengoklah, Ketika Mas Gagah Pergi karya Mbak Helvy. Cerita yang sederhana, padat, singkat, jelas dan mengungkapkan sebuah sisi kehidupan yang sungguh luar biasa menyentuh. Atau baca Kupu-kupu Pelanginya Kang Gola Gong. Atau baca karya-karyanya Mbak Asma Nadia. Atau baca karya-karyanya Fahri Asiza (lho kok... hahaha)

Nggak percaya? Coba baca (ulang) deh!

Mudah-mudahan ini cukup berguna dan maaf bila ada gagasan yang salah, karena ini hanya pandangan saya--Fahri Asiza--semata.

Allahu'alam


Sesi I. Teknik & Kiat-Kiat Penulisan LPJJ 2004
Thu-Sat, 3-5 Jun 2004

0 komentar:

Posting Komentar